Perihal Jemari

liberationotes
2 min readJan 21, 2022
Photo by Rainier Ridao on Unsplash

Ketika kali pertama kelima jemari tangan kananmu menyapa, ku bilang, tolong jangan buat aku jatuh cinta.

Aku takut kali ini jurang yang akan kutemui terlalu curam. Ku bilang, cukup sampai pada halo saja, jangan sampai kau kirimkan pesan sayang di setiap sepertiga malam.

Namun ternyata kamu cukup keras kepala. Ku bilang, sungguh aku belum siap. Tapi di setiap sudut-sudut jemarimu semacam terselip pelukan erat. Haruskah aku menyerah?

Dua, tiga, lima pengakuan, pertahananku tak lagi kuat. Setelah berusaha terus berlayar, kali ini ku putuskan mendarat. Dermaga yang ada di kedua bola matamu seolah mengajakku untuk berhenti, barangkali sampai waktuku kadaluwarsa.

Setelah segudang pertanyaan yang sempat terbesit di dalam benakku, aku memilih untuk mendekapmu. Kali ini, aku dengan lapang dada memilih untuk terjatuh, berulang kali tidak apa, asalkan tanganmu tetap setia kembali menggapaiku.

Entah mantra apa yang kau kuasai, keraguan kini menjelma menjadi kerinduan. Jari jemarimu yang awalnya hanya ku sapa kini hadir untuk menggenggamku tanpa jeda — dan aku suka. Ku memohon, maukah kamu berjanji untuk singgah lama-lama?

Kamu yang muncul secara tiba-tiba berhasil mengaburkan duka dan menyulapnya menjadi hari-hari bahagia. Dengan betul-betul percaya, ku putuskan untuk menitipkan sebagian besar dari angan-anganku padamu.

Maka di hari itu, ketika kamu berjalan kepadaku lagi seperti kali pertama, semua ketakutanku sekejap hilang. Lagi-lagi teduh senyummu seperti ramuan yang memabukkan. Lewat satu undangan untuk menetap di rumahmu — selamanya, jari manisku terperanjak seakan-akan menjadi bernyawa. Tanpa sela sepersekian detik, ia pun dengan tulus menjawab ya, aku bersedia.

--

--